Rabu, 23 November 2011

Tipe tipe kepemimpinan

Dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda. Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin". Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. Pimpinan yang dapat dikatakan sebagai pemimpin setidaknya memenuhi beberapa kriteria,yaitu

1. Pengaruh : Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh ini menjadikansang pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin. John C. Maxwell, penulis buku-buku kepemimpinan pernah berkata : Leadership is Influence (Kepemimpinan adalah soal pengaruh). Mother Teresa dan Lady Diana adalah contoh kriteria seorang pemimpin yang punya pengaruh.

2. Kekuasaan/power : Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia
memiliki kekuasaan/power yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa
kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin, tentunya tidak ada orang yang
mau menjadi pendukungnya. Kekuasaan/kekuatan yang dimiliki sang pemimpin ini
menjadikan orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki sang pemimpin, tanpa itu
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang bersifat
simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan.

3. Wewenang : Wewenang di sini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada
pemimpin untuk fnenetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/kebijakan.
Wewenang di sini juga dapat dialihkan kepada bawahan oleh pimpinan apabila sang
pemimpin percaya bahwa bawahan tersebut mampu melaksanakan tugas dan tanggung
jawab dengan baik, sehingga bawahan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tanpa perlu campur tangan dari sang pemimpin.
4. Pengikut : Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaaan/power, dan wewenang tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang berada di belakangnya yang memberi dukungan dan mengikuti apa yang dikatakan sang pemimpin. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada. Pemimpin dan pengikut adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri.

Tipe-tipe kepemimpinan atau jenis kepemimpinan yang akan kita bicarakan dibawah ini ialah pengelompokan berdasarkan ciri-ciri dalam penampilan/dari cara melaksanaan kepemimpinan, khususnya disekolah-sekolah. Tentang bagaimana diperolehnya sifat-sifat kepemimpinan itu, apakah sudah merupakan pembawaan sejak lahir atau hasil pendidikan dan latihan, tidak dijadikan masalah pokok dalam rangka administrasi pendidikan ini. Secara garis besar, ada 3 tipe kepemimpinan. Namun, disini akan kita bahas 5 tipekepemimpinan. Tipe atau jenis kepemimpinan tersebut yaitu: Pemimpin otrokratis, Pemimpin Pseudo-Demokratis, Pemimpin Laissez-Faire, Pemimpin Demokratis dan Pemimpin yang berdasarkan Tur wuri Handayani. Berikut penjelasannya:
1. Pemimpin Otokratis
Otokratis asal kata dari kata-kata: oto = sendiri, dan kratos =pemerintahan. Jadi otokratis berarti mempunyai sifat memerintah dan menentukan sendiri. Pemimpin otokratis menggagap bahwa ialah yang bertanggungjawab sepenuhnya dan yang dapat menentukan maju-mundurnya sekolah yang dipimpinnya. Ia selalu khawatir kalau-kalau sesuatu tidak berjalan menurut yang ia harapkan. Ia menghendaki agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan yang ia telah tentukan.
2. Pemimpin Pseudo-Demokratis
Pseudo berarti palsu, pura-pura. Pemimpin semacam ini berusaha memberikan kesan dalam penampilannya seolah-olah ia demokratis, sedangkan maksudnya ialah otokratis, mendesakkan keinginannya sendiri secara halus. Dalam pembicaraan dan rapat-rapat ia banyak meminta pendapat dan saran orang lain, untuk memberikan kesan bahwa ia lebih memperhatikan pendapat orang lain. Tetapi selanjutnya ia perhatikan saran-saran yang dimintanya itu, karena pandai/lihai mengubah alasan-alasan sedemikian rupa sehingga selalu menguntungkan diri sendiri dan menghasilkan pendapat sendiri. Jadi, pemimpin pseudo-demokratis sebenarnya orang yang otokratis tetapi pandai menutup-nutupi sifatnya dengan penampilan yang memberikan kesan seolah-olah ia demokratis.
3. Pemimpin Laissez-Faire
Laissez-faire jika diterjemahkan dapat diartikan sebagai “biarkan saja bejalan “ atau “tidak usah dihiraukan” ; jadi mengandung semacam sikap “masa bodo”. Dalam melaksanakan usaha, rencana yang tegas dianggapnya tidak perlu karena akan mengekang kebebasan anggota dan akan mengurangi inisiatif mereka. Setiap usul baru dan hasil pemikiran baru dan hasil pemikiran baru dari setiap anggotanya, dianggap sebagai bukti adanya perhatian inisiatif para anggota itu, yang harus dihargai dan diberikan kesempatan untuk dilaksanakan. Kegembiraan berkerja dan semangat bekerja akan terpelihara, Karena tidak ada kekangan-kekangan. Setiap macam kekangan dianggap bertentangan dengan hak-hak individu dalam demokrasi.Pemimpin semacam ini tidk akan menghasikan suasana tertib damai; tidak akan menimbulkan “self discipline” pada anggotanya-anggotanya. Tiap anggota akan menganggap bahwa hak dan kewajiban ada pada tiap anggota-anggotanya masing-masing, dank karena tiap anggota berhak berusaha dengan cara masing-masing, menurut kehendak dan pendapat masing-masing. Dalam setiap usaha diperlukan self disipine untuk mengekang diri sendiri, berusaha menyesuaikan diri pada ketentuan-ketentuan dari kelompok. Pimpinan yang laissez-faire sama sekali tidak berusaha menimbulkan self-disciplene, tidak meminta mengekangakan diri. Karena itu pimpinan laissez-faire (“biarkan saja berjalan”) dapat menimbulkan kekacauan dan kesimpang-siuran dalam usaha. Kepemimpinan macam ini mungkin disebabkan karena: tidak mampu, malas, masa bodo, atau karena tidak tahu arti sebenarnya dari demokrasi.
4. Pemimpin DemokratisPemimpin demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya, yang bersama-sama dengan kelompoknya berusaha dan bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan bersama. Agar setiap anggota merasa turut bertanggungjawab, maka semua anggota diajak ikut serta dalm tiap kegiatan: dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaiannya. Setiap anggota dianggap sebagai sumber potensi yang berharga dan mempunyai peranan dalam usaha pencapaian tujuan.Demokratis berasal dari kata demos = rakyat dan kratos “pemerintahan oleh rakyat”, yaitu usaha dan tanggungjawab bersama oleh semua anggota kelompok. Kepemimpinan demokratis inilah yang dijadikan ukuran dalam kepemimpinan pendidikan dalam administrasi.
5. Tut Wuri Handayani Di atas kita sudah katakana bahwa kepemimpinan demokratislah yang kita jadikan ukuran dalam pendidikan dan administrasi pendidikan. Ini tidak berarti menganggap kepemimpinan demokratis yang betul dan kepemimpinan otokratis salah. Kepemimpinan mana yang baik dan harus kita lakukan, sebenarnya ditentukan oleh banyak faktor: oleh tujuan, oleh anggota kelompoknya (sikap kemampuanya) , dan oleh situasi. Semboyan pendidikan yang dipakai sebagai lambang resmi Departemen Pendidikan, yaitu “TUT WURI HANDAYANI”, sebenarnya merupakan satu bagian (bagian terakhir) dari falsafah kepemimpinan pendidikan yang telah lama dilaksanakan di indonesia, antara lain oleh Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa. Lengkapnya ialah: Ing Ngarso Sung Tulodo; Ing Madyo Mangun Karso; Tut Wuri Handayani; yang dapat kita terjemahkan secara bebas: didepan (berperan) sebagai tauladan, di tengah (turut) membina kehendak/motivasi, dan di belakang mengikuti sambil mendidik.
Dengan demikian seorang pendidik/pemimpin harus dapat menempatkan dirinya dalam berbagai peranan kepemimpinan, yaitu:
• Sebagai pemimpin yang memberikan conth/teladan, yang memberikan petunjuk/ ketentuan kepada yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
• Sebagai pemimpin yang dapat bekerjasama dengan orang-orang dipimpinnya, yang berada di tengah-tengah kelompoknya dan secara kooperatif berusaha bersama smbil membantu dan mendorong mereka.
Sebagai pemimpin yang berani memberikan tanggung jawab kepada yang dipimpinnya, memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperlihatkan kemampuannya, dan sebagai pemimpin yang masih bertanggungjawab, ia “berdiri di belakang”, tetap waspada dan siap “turun tangan” jika diperlukan.

Ada 3 (tiga) mitos yang berkembang di masyarakat, yaitu mitos the Birthright, the For All – Seasons , dan the Intensity. Mitos the Birthright berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik). Mitos ini berbahaya bagi perkembangan regenerasi pemimpin karena yang dipandang pantas menjadi pemimpin adalah orang yang memang dari sananya dilahirkan sebagai pemimpin, sehingga yang bukan dilahirkan sebagai pemimpin tidak memiliki kesempatan menjadi pemimpin Mitos the For All – Seasons berpandangan bahwa sekali orang itu menjadi pemimpin selamanya dia akan menjadi pemimpin yang berhasil. Pada kenyataannya keberhasilan seorang pemimpin pada satu situasi dan kondisi tertentu belum tentu sama dengan situasi dan kondisi lainnya. Mitos the Intensity berpandangan bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas dan galak karena pekerja itu pada dasarnya baru akan bekerja jika didorong dengan cara yang keras. Pada kenyataannya kekerasan mempengaruhi peningkatan produktivitas kerja hanya pada awal-awalnya saja, produktivitas seterusnya tidak bisa dijamin. Kekerasan pada kenyataannya justru dapat menumbuhkan keterpaksaan yang akan dapat menurunkan produktivitas kerja. Berikut ini merupakan teori-teori kepemimpinan

Kepemimpinan Menurut Teori Sifat (Trait Theory)
Studi-studi mengenai sifat-sifat/ciri-ciri mula-mula mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan kemampuan orang yang dipercaya sebagai pemimpin alami. Ratusan studi tentang sifat/ciri telah dilakukan, namun sifat-sifat/ciri-ciri tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang. Penelitian mengenai sifat/ciri tidak memperhatikan pertanyaan tentang bagaimana sifat/ciri itu berinteraksi sebagai suatu integrator dari kepribadian dan perilaku atau bagaimana situasi menentukan relevansi dari berbagai sifat/ciri dan kemampuan bagi keberhasilan seorang pemimpin. Berbagai pendapat tentang sifat-sifat/ciri-ciri ideal bagi seorang pemimpin telah dibahas dalam kegiatan belajar ini termasuk tinjauan terhadap beberapa sifat/ciri yang ideal tersebut.

Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku (Behavioral Theory)
Selama tiga dekade, dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku. Kebanyakan studi mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai lebih banyak bawahan yang puas. Hasil studi kepemimpinan Ohio State University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin pada dasarnya mengarah pada dua kategori yaitu consideration dan initiating structure. Hasil penelitian dari Michigan University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memiliki kecenderungan berorientasi kepada bawahan dan berorientasi pada produksi/hasil. Sementara itu, model leadership continuum dan Likert’s Management Sistem menunjukkan bagaimana perilaku pemimpin terhadap bawahan dalam pembuatan keputusan. Pada sisi lain, managerial grid, yang sebenarnya menggambarkan secara grafik kriteria yang digunakan oleh Ohio State University dan orientasi yang digunakan oleh Michigan University. Menurut teori ini, perilaku pemimpin pada dasarnya terdiri dari perilaku yang pusat perhatiannya kepada manusia dan perilaku yang pusat perhatiannya pada produksi.

Teori Kontingensi (Contigensy Theory)
Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut. Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.

Teori Atribut Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan mengemukakan bahwa kepemimpinan semata-mata merupakan suatu atribusi yang dibuat orang atau seorang pemimpin mengenai individu-individu lain yang menjadi bawahannya.
Beberapa teori atribusi yang hingga saat ini masih diakui oleh banyak orang yaitu:
• Teori Penyimpulan Terkait (Correspondensi Inference), yakni perilaku orang lain merupakan sumber informasi yang kaya.
• Teori sumber perhatian dalam kesadaran (Conscious Attentional Resources) bahwa proses persepsi terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamatan).
• Teori atribusi internal dan eksternal dikemukakan oleh Kelly & Micella, 1980 yaitu teori yang berfokus pada akal sehat.

Kepemimpinan Kharismatik
Karisma merupakan sebuah atribusi yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan para pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut.
Berbagai teori tentang kepemimpinan karismatik telah dibahas dalam kegiatan belajar ini. Teori kepemimpinan karismatik dari House menekankan kepada identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi oleh pemimpin dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan- tujuan dan rasa percaya diri para pengikut. Teori atribusi tentang karisma lebih menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama mempengaruhi dan internalisasi sebagai proses sekunder. Teori konsep diri sendiri menekankan internalisasi nilai, identifikasi sosial dan pengaruh pimpinan terhadap kemampuan diri dengan hanya memberi peran yang sedikit terhadap identifikasi pribadi. Sementara itu, teori penularan sosial menjelaskan bahwa perilaku para pengikut dipengaruhi oleh pemimpin tersebut mungkin melalui identifikasi pribadi dan para pengikut lainnya dipengaruhi melalui proses penularan sosial. Pada sisi lain, penjelasan psikoanalitis tentang karisma memberikan kejelasan kepada kita bahwa pengaruh dari pemimpin berasal dari identifikasi pribadi dengan pemimpin tersebut.
Karisma merupakan sebuah fenomena. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin karismatik untuk merutinisasi karisma walaupun sukar untuk dilaksanakan. Kepemimpinan karismatik memiliki dampak positif maupun negatif terhadap para pengikut dan organisasi.



Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin pentransformasi (transforming leaders) mencoba menimbulkan kesadaran para pengikut dengan mengarahkannya kepada cita-cita dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi. Burns dan Bass telah menjelaskan kepemimpinan transformasional dalam organisasi dan membedakan kepemimpinan transformasional, karismatik dan transaksional. Pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih peka terhadap nilai dan pentingnya pekerjaan, mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dan menyebabkan para pengikut lebih mementingkan organisasi. Hasilnya adalah para pengikut merasa adanya kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari yang diharapkan darinya. Efek-efek transformasional dicapai dengan menggunakan karisma, kepemimpinan inspirasional, perhatian yang diindividualisasi serta stimulasi intelektual. Hasil penelitian Bennis dan Nanus, Tichy dan Devanna telah memberikan suatu kejelasan tentang cara pemimpin transformasional mengubah budaya dan strategi-strategi sebuah organisasi. Pada umumnya, para pemimpin transformasional memformulasikan sebuah visi, mengembangkan sebuah komitmen terhadapnya, melaksanakan strategi-strategi untuk mencapai visi tersebut, dan menanamkan nilai-nilai baru.

http://kadri-blog.blogspot.com/2010/11/tipe-tipe-kepemimpinan.html
http://ilmupsikologi.wordpress.com/2011/11/04/tipe-kepemimpinan/
http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/teori-kepemimpinan.html

Jumat, 04 November 2011

Konflik intra perorangan

Konflik merupakan suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu orang atau kelompok berusaha untuk menjatuhkan dan menyingkirkan pihak lain dengan berbagai macam cara sampai membuatnya tidak berdaya. Konflik sangat bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus dalam masyarakat. Konflik yang terkontrol dapat menyebabkan integrasi dan sebaliknya apabila integrasi tidak berjalan dengan baik maka akan menimbulkan konflik. Konflik biasanya dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa oleh masing-masing individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial akan menyebabkan suatu gap antara individu atau kelompok yang lain. Konflik merupakan suatu situasi yang wajar dalam tiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antara anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya.

Ciri-Ciri Konflik :

1)Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2)Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3)Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4)Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut
5)Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.

Faktor penyebab konflik diantaranya adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Selanjutnya karena perbedaan latar belakang juga bisa kita sebut factor penyebab konflik selain itu perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok artinya manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Perubahan- perubahan nilai yang cepat dalam masyarakat adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Konflik intra perorangan dapat terjadi oleh karena adanya pertentangan dalam tujuan yang ingin dicapai dan pertentangan dalam peran yang harus dijalankannya. Ada tiga jenis konflik yang dialami oleh individu yaitu :

1)Approach-approach conflict. dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain. Pada konflik ini jenis ini orang mengalami kesulitan di dalam menentukan pilihan, oleh karena ada dua atau lebih alternatif pilihan terdapat hal-hal yang menarik. Misalnya, seorang calon karyawan mendapat kesempatan untuk promosi ke posisi yang lebih tinggi tetapi dia harus meninggalkan pekerjaan sekarang yang sudah disenanginya. Cukup sering terjadi orang merasa sungkan untuk dipromosikan karena dia merasa pekerjaan yang dipegangnya sudah sesuai dengan keinginannya. Contoh lain dari konflik jenis ini ialah seorang yang punya kesempatan untuk memilih dua posisi kerja yang sama-sama menarik.
2)Approach-avoidance conflict. dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
Bila orang menghendaki sesuatu dan hal yang relatif berimbang, orang akan mengalami konflik di dalam menentukan pilihannya. Keadaan seperti ini sering dialami oleh eksekutif. Misalnya pimpinan sangat sulit untuk memberhentikan karyawan yang merupakan teman baik, tetapi berbuat yang merugikan perusahaan.
3)Avoidance-avoidance conflict. dimana orang didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal. Konflik jenis ini terjadi apabila seseorang harus memilih antara dua pilihan yang keduanya memiliki hal yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang karyawan yang harus memilih antara mendiamkan perbuatan supervisor yang merugikan dirinya, dan menerima pemecatan karena melaporkan kesalahan supervisor.

Selain hal-hal di atas konflik-individual dapat terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan yang diharapkan oleh seseorang untuk dipenuhi. Apa yang diharapkan karyawan tidak sesuai dengan apa yang merupakan faktor yang mendorong orang untuk bekerja. Menurut teori Abraham Maslow yang sangat populer dan paling sering dikutip, kebutuhan manusia mempunyai tingkatan, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi tingkatannya. Pada tingkatan yang paling dasar orang bekerja hanya semata-mata untuk mendapatkan uang agar supaya kebutuhan hidup yang paling dasar seperti makan dan minum dapat terpenuhi. Setelah kebutuhan ini terpenuhi orang akan memikirkan kebutuhan kebutuhan lain, yaitu rasa aman. Orang akan mencari pekerjaan tidak semata-mata untuk memperoleh gaji yang besar, tetapi juga mencari kerja yang akan terjamin kelangsungannya sebagai sumber penghasilan walaupun penghasilannya relatif kecil. Inilah sebabnya kenapa orang lebih menyukai menjadi pegawai negeri dari pada pegawai swasta asing, walaupun perusahaan asing memberikan gaji beberapa kali lipat lebih besar dari gaji pegawai negeri. Pekerjaan sebagai pegawai negeri lebih terjamin kelangsungannya daripada pekerjaan sebagai pegawai swasta. Bila kebutuhan dasar (makan, minum) dan rasa aman telah terpenuhi di dalam bekerja orang mulai mengejar kebutuhan lain yang lebih tinggi. Orang mulai mencari pekerjaan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan psikologis seperti merasa dimiliki oleh kelompok kerjanya, ada saling pengertian baik dengan sesama karyawan maupun dengan pihak pimpinannya. Pada tingkatan ini orang membutuhkan perlakuan yang adil, penuh cinta dan kasih. Walaupun perusahaan memberikan gaji yang besar, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi orang akan menjadi rendah semangat kerjanyaKebutuhan tingkat selanjutnya akan segera muncul bila kebutuhan yang disebutkan sebelumnya sudah terpenuhi. Kebutuhan akan pengakuan diri adalah kebutuhan tingkat yang keempat. Pada tingkatan ini, orang ingin mendapat pengakuan dari apa-apa yang dikerjakannya. Misalnya karyawan ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat berbuat sesuatu untuk kepentingan perusahaan dengan memberikan usul-usul perbaikan sistem kerja. Konflik dalam diri karyawan akan terjadi apabila usul-usul demi perbaikan perusahaan tidak digubris sama sekali oleh pihak atasan. Kebutuhan untuk mengembangkan kreatifitas, berinovasi semata-mata untuk kepuasan diri adalah kebutuhan pada level ini dalam bekerja tidak lagi didorong oleh kebutuhan yang bersifat ekstrinsik seperti uang dan jabatan. Mereka bekerja oleh karena dorongan intrinsik dari dalam diri, yakni ingin berbuat sesuatu yang semata-mata didasarkan pada keinginan diri untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak. Konflik dalam diri karyawan akan terjadi dalam perusahaan apabila karyawan merasa kebutuhan yang dikehendakinya tidak dapat diperoleh dari tempat kerjanya. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan usaha untuk memahami kebutuhan para karyawan, yang antara lain dengan jalur ‘counseling service’.
Berikut ini merupakan strategi mengatasi konflik diantaranya :
1)Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2)Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3)Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4)Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5)Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.

http://perilakudanperkembanganorganisasi.blogspot.com/
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/konflik-dalam-hubungan-antar-pribadimengelola-konflik-antar-pribadi-dan-strategi-mengatasi-konflik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
http://perilakudanperkembanganorganisasi.blogspot.com/2011/05/normal-0-false-false-false.html